Sebagai orang tua, ungkapan kasih sayang seringkali menjadi alunan musik yang kita putar setiap hari di rumah. Kalimat seperti “Anak pintar,” “Ibu sayang kamu,” atau “Jadi anak yang baik, ya” terucap begitu saja, menjadi kebiasaan yang kita harap dapat meresap ke dalam hati sang buah hati. Kita percaya, kata-kata positif yang ditanamkan secara konsisten akan membentuk fondasi emosional yang kuat bagi mereka. Namun, kita mungkin tidak pernah menyangka kapan dan bagaimana benih-benih itu akan tumbuh dan ditunjukkan kembali kepada kita.
Bayangkan sebuah skenario yang sangat lazim: seorang ibu sedang fokus membalas pesan-pesan penting terkait pekerjaan di ponselnya. Tiba-tiba, sang kakak, seorang anak dengan kebutuhan khusus yang memiliki sensitivitas terhadap suara keras, mengambil ponsel tersebut. Baginya, ponsel itu hanyalah benda menarik yang ingin ia pegang dan amati, sama seperti remote TV atau mainan lainnya. Terkaget dan sedikit terganggu oleh interupsi, sang ibu merespons dengan nada yang sedikit lebih keras dari biasanya, “Sebentar ya, Nak. Ibu selesaikan pekerjaan dulu.”
Seketika, sang kakak yang sensitif terhadap suara langsung menunjukkan kesedihan dan mulai tantrum. Suasana yang tadinya tenang mendadak menjadi tegang. Namun, di tengah situasi itu, muncullah sebuah keajaiban kecil dari sang adik. Dengan polosnya, ia mendekati kakaknya dan berkata lembut dengan kalimat yang sangat familier, “Kakak sayang, sabar ya. Ibu kan lagi kerja dulu. Kakak kan anak baik.”
Momen tersebut sontak membuat hati luluh. Kalimat yang diucapkan sang adik bukanlah sekadar tiruan kosong. Ia menggunakan “alat” yang selama ini diajarkan oleh ibunya untuk menenangkan situasi. Ia melihat bahwa kata-kata “sayang” dan “anak baik” adalah mantra untuk meredakan ketegangan dan menunjukkan kasih. Ia tidak hanya meniru kata-katanya, tetapi juga memahami fungsinya dalam sebuah konteks emosional. Inilah cermin paling nyata dari prinsip “Children see, children do” atau “Anak adalah peniru ulung”.
Kisah sederhana ini menjadi pengingat kuat bagi kita semua. Anak-anak, baik dengan ataupun tanpa kebutuhan khusus, adalah pengamat terbaik di dunia. Mereka tidak hanya mendengar apa yang kita ucapkan, tetapi juga melihat bagaimana kita bersikap saat lelah, marah, atau di bawah tekanan. Cara kita menyelesaikan konflik, menunjukkan empati, atau sekadar menenangkan diri sendiri adalah pelajaran paling berharga yang kita wariskan kepada mereka setiap detiknya.
Pada akhirnya, tingkah laku anak kita hari ini adalah gema dari perilaku kita di masa lalu. Apa yang kita tanamkan setiap hari—baik itu kesabaran, nada bicara yang lembut, ataupun ungkapan kasih sayang yang tulus—akan kita tuai kembali, seringkali di saat yang paling tak terduga dan melalui cara yang paling menyentuh hati. Merekalah cermin kecil yang merefleksikan siapa diri kita sebagai orang tua.
